Oleh: dokterdiaz | Agustus 12, 2010

IKO DAN PENGARANG YANG MALANG

Enduring and forgiving are two different things. You must not forgive the cruelty of this world. It’s our duty as human beings to be angry at injustice. But we must also endure it. Because someone must sever this chain of hatred.”
— Hiromu Arakawa (Fullmetal Alchemist, Volume 18)

Pemuda sederhana itu bernama Iko. Ia terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Sastra semester VII sebuah perguruan tinggi negeri, di Bandung. Berlatar belakang kondisi perekonomian keluarga yang seret Iko memulai hidup mandiri semenjak memutuskan untuk melanjutkan jenjang pendidikan. Orang tua Iko hanyalah jelata yang menggatungkan asap dapurnya melalui penjualan sapu lidi di pasar-pasar tradisional Lembang. Oleh karena itu, Iko memaklumi bila orangtuanya tidak mampu memberi biaya kuliah terlebih jika membiayai kontrakan kamar untuk Iko. Hebatnya, kesulitan yang mendera keluarga tidak membuat tekad Iko terkurung dalam impian. Setelah diterima pada tahun 1998 Iko lantas memperjuangkan keinginannya dihadapan rektor. Rektor menampik permohonan tapi Iko pantang menyerah, akhirnya ibapun menghampiri. Beberapa staf Universitas mengulurkan belas kasih kedalam bentuk uang kepada Iko untuk membayar uang muka “menjadi mahasiswa”. Tak sampai disana, dari mulut staf yang baik hati itu, dekan fakultas Sastra mendengar kabar tentang Iko. Disamping tidak usah membayar uang sebagai tanda “pengesahan menjadi mahasiswa” Iko juga, mendapat jatah kamar di asrama Universitas sampai kuliahnya tuntas.

Tergolong mahasiswa cerdas, dengan mudahnya Iko mendapat beasiswa Super Semar. Untuk sementara beberapa permasalahan bagi Iko terselesaikan namun, tak lama kemudian –ketika proses belajar mengajar dimulai–, Iko mulai merasa membutuhkan buku panduan bagi keberhasilan kuliahnya. Melihat teman-temannya membeli buku segampang mereka membeli makan siang di kantin Iko acapkali sedih. Acapkali Ikopun membandingkan diri dengan teman-teman sekelasnya saat mendiskusikan buku Layla Majnun, Misteri Soliter, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan novel Pertempuran Penghabisan di toko buku Gunung Agung sementara, Iko hanya dapat meminjam di perpustakaan yang kebanyakan buku-buku sastranya berwarna kuning, usang tak menarik, dan ketinggalan zaman. Ditunggu-tunggunya harga buku turun. Tapi mengapa tak mau turun?. Untung prinsip ayah masih melekat pada pemikiran Iko “Yang penting bukan penampilan tapi fungsinya”. Mengingat itu Iko mulai rajin bertandang ke kios-kios “penggandaan” literatur. Iko memfotocopy novel-novel sastra kegemaran teman-temannya. Kini, hampir di setiap malam, Iko senyum-senyum diatas risbang sambil menikmati jutaan kata yang hurufnya terkadang memudar .

***

Bertatap wajah dengan peserta jurnalistik yang ingin menyadap keahlian wartawan dalam membuat artikel, seorang freelance kota Bandung bertutur :

“Tuhan mencipta?”

“Ya!” ada juga yang menjawab “Pasti Jek!” dan ‘Nya he’eh atuh!”

“Marahkah Tuhan, jika hak ciptanya berupa bebukitan, ilalang yang kering, dan menghamparnya bebukitan, serta susunan kerikil pembentuk pegunungan Kilimanjaro, dianggap sebagai ciptaan berhala?. Maksudnya, penciptaan tersebut, diklaim oleh penganut animisme/dinamisme sebagai hasil cipta, rasa dan karsa ratu buaya, yang menjadi sesembahan penduduk pedalaman?”. Gugat Freelance kembali.

“Maraaaaaah!”. Hampir semua membuka mulut.

“Benar sodara, itu pembajakan hak cipta”.

“Memaaaang!”

“Ya, memang!, pembajakan itu namanya!. Nah … Begitulah kesamaan antara kecemburuan Sang Pencipta, dengan perasaan para penulis buku ketika mengetahui bahwa buku yang sudah diserahkannya pada penerbitan resmi, dibajak, difotocopy semena-mena, padahal mereka bersusah payah menghidupkan malam dengan suara tak-tik-tak-tik pada keyboard komputer,”.

Pembicaraan dihadapan forum terhenti. Hampir semua terkagum. Hanya tiga orang yang menganggap perumpamaan yang dijabarkan Sang Freelance tidaklah pas. Culdessac intelktual! Salah seorang darinya, samar bicara. “Bukankah hanya Tuhan saja yang mencipta sedangkan manusia sama sekali tidak pernah mencipta”.

“Bukankah hanya Tuhan saja yang mencipta sedangkan manusia sama sekali tidak pernah mencipta”.

***

Permasalahan yang tersaji pada kedua fragmen diatas memang dilematis. Disatu sisi, akses informasi melalui buku-buku yang terpajang rapih di etalase toko, ternyata –hanya– dapat dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Iko beserta jutaan masyarakat yang juga ingin menambah pemahamannya tentang ilmu pengetahuan –apakah itu sejarah, matematika, kedokteran, dan sastra–, cuma bisa mendecakkan lidah menyadari harga buku yang diidamkan ternyata, melebihi pengeluaran uang makan selama tiga hari. Apa mereka harus memelompongkan perut selama itu hanya untuk membeli buku?.

Dilema lainnya, pembajakan atas hak cipta disinyalir akan menghancurkan iklim penerbitan buku yang kondisinya jauh lebih baik jika dibandingkan dengan penerbitan buku di era Orde Baru. Jika pembajakan terus terjadi, lama-kelamaan para pengarang kecewa –katanya–, sebab uang yang mengalir ke kantung penerbit menjadi berkurang. Efek dominonya?. Para pengarang terkena kangker. Dompetnya.

Cekak!.

Pengarang yang menganggap penyebaran ideologi adalah segalanya, absolutely, tidak akan mempermasalahkan menderas atau tidaknya hasil penjualan buku menuju kantung mereka. Mereka tidak akan ambil pusing, sebab –mereka– sudah pusing melihat masyarakat miskin tidak dapat mengakses informasi yang dapat menjadikan mereka pintar –atau setidaknya mendapatkan informasi mengenai “apakah sistem membodohi aku atau tidak? ”..

Ada beberapa penerbitan, dan majalah independent yang justru mempersilahkan orang macam apapun, memperbanyak hasil kreativitas –yang juga dikerjakan dengan susah payah– agar masyarakat segera tersadar. Mereka tidak menginginkan upaya penyadaran politik ditelikung oleh tumbuh mekarnya keinginan menjadi kapitalis-kapitalis kecil di dunia ide. NC tidak mungkin menyalahkan (hanya menyayangkan hal tersebut menggejala di kalangan pejuang ideologi) –juga, tak boleh, semua saling memaki, tunjuk menunjuk kebatang hidung hingga muka kita merah karenanya–.

Yang harus disadari, munculnya dilema diatas merupakan masalah yang harus lekas di retak, dan pecahkan. Solusi yang pas dalam memuaskan kedua belah fihak antara kaum miskin versus penerbit yang bergandeng tangan bersama para pengarang adalah : menyalahkan sistem yang tak becus me-manage kehidupan serta mencemooh sistem yang tak mampu mengatur interaksi antar manusia.

Point lain yang tidak boleh dilupakan adalah, kita harus mulai merekayasa sistem yang keberadaannya disesuaikan dengan fitrah manusia miskin yang ingin pintar, serta fitrah penulis yang ingin dihargai jerih payahnya. Tentu, sistem tersebut tidak dibangun berdasar filosofi ideologi Kapitalis maupun Sosialis.

Sistem yang akan kita rekayasa adalah sistem yang akan :

Memberi jaminan kehidupan –yang lebih dari cukup– bagi penulis atas curahkan pemikirannya dalam bentuk buku.

Membeli kristalisasi pemikiran penulis-penulis berbakat untuk kemudian hasil pemikiran mereka dijadikan hak milik umum yang dapat dibeli dengan harga murah oleh masyarakat, bahkan gratis, jika memang sumber daya alam yang ada dikelola oleh negara — tanpa ikut campur lintah-lintah darat Caltex, Freeport dan Exxon mobil oil–, yang kemudian hasilnya digunakan dan didistribusikan secara merata, agar masyarakat merasa nyaman dari bencana kebodohan dan bahaya kelaparan.

Mari lapangkan tengggorokan untuk berkata, dan berkerja :

AYO!!!

Gerak berontak bersama, mengunjungi raksasa kejahatan. Memberi separuh kekuatan, untuk di himpun bersama kekuatan revolusi, yang berabad menumpuk meresahkan dada, berkobar segarang auman singa. Sekuat lilitan belalai gajah purbakala.

AYO!!

Pompa pemberontakan. Lantangkan teriakan gembira “hip-hip Hooray!” tuk tuntaskan pukulan kilat melampaui blitzkrieg. Mengungguli Bolysevijk.

Berderaplah di shaf terdepan, digemerincing legiun revolusi termegah ummat manusia.

AYO!!

Kucurkan darah … Rekatkan otot, maksimalkan kinerja otak melebihi batas cahaya match. Memacu dan rentangkan batas kemanusiaan hingga berdarah.

Satu pemberontakan adalah kesepakatan.

Selusin pemberontakan adalah permufakatan

Selaksa pemberontakan adalah titian menuju gelombang pemberontakan!.

Badai pemberontakan!!

TSUNAMI … PEMBERONTAKAN !!!

Tank dan machine gun versus pemikiran.

Menuju pucuk revolusi

pembentukan sebuah Negara adidaya

Berkibarlah Jaya

[nczine]


Tinggalkan komentar

Kategori